Garap Market Berbeda? Why Not!


sumber gambar : http://www.relevantinsights.com/wp-content/uploads/2011/01/Customer_Insights_Implementation.png

                Beberapa hari kebelakang kebetulan saya melakukan perjalanan dinas ke Jakarta, dan kebetulan saat di jalan tol perhatian saya sekilas teralihkan oleh sosok travel Bandung – Jakarta bernama “transline”, sejenak saya berpikir oh mungkin brand bisnis travel baru, namun setelah saya cermati dan perhatikan dengan seksama balutan branding yang melekat pada armada yang masih baru tersebut saya melihat sebuah merk yang cukup familiar khususnya di industri jasa transportasi shuttel travel, adalah brand Cipaganti yang saya maksudkan.

                Seperti diketahui Cipaganti bisa dibilang raksasa dalam industri transportasi dan tentunya memiliki unit bisnis yang masing-masingnya memiliki target market yang berbeda-beda, nah disini saya ingin sedikit membahas mengenai strategi Cipaganti yang mengembangkan unit service baru bernama “transline”, yang ternyata menyasar segmen lebih premium (middle up class), apa yang berbeda? Selain fasilitas penjemputan, berdasarkan observasi saya di jalan tol saat itu selain armada baru tentunya travel ini mengemas konsep double seat in every row (di setiap baris hanya ada dua kursi sehingga lebih luas) sehinggal konsumen lebih luas.
                Oke balik lagi ke pembahasan, seperti diketahui Cipaganti yang sebelumnya sudah memiliki jasa travel Bandung – Jakarta dan ke beberapa kota lainnya untuk segmen middle, sebelum meluncurkan Transline yang diperuntukan untuk segmen premium, Cipaganti juga meluncurkan Star Shuttle yang memang ditujukan untuk segmen low. Nah dari uraian tersebut, tentunya menarik untuk bersama kita jadikan pembahasan dibalik strategi yang dilakukan oleh Cipaganti dengan melakukan pengembangan produk jasa untuk segmentasi yang berbeda.

1.       Lihat Potensi Pasar
Saya menilai hal pertama yang menjadikan landasan dalam pengembangan produk ini adalah potensi pasar (market) itu sendiri, seperti diketahui bisnis transportasi travel  shuttle to shuttle menjadi sebuah bisnis baru yang cukup potensial khususnya setelah adanya jalur transortasi tol cipularang (Bandung – Jakarta yang kini bisa ditempuh hanya dalam 3 Jam). Kemunculan banyak merk jasa travel merupakan sebuah bukti kecermatan para pelaku bisnis dalam memanfaatkan dan memaksimalkan potensi pasar, mengenai peluang kebutuhan jasa transportasi yang murah dan cepat bagi konsumen yang hendak melakukan perjalanan Bandung – Jakarta ataupun sebaliknya. Nah itu kalo dari konteks melihat potensi pasar secara umum, bagaimana secara spesifik? saya menilai dilihat dari persaingan itu sendiri sejauh mana pesaing kita memaksimalkan potensi yang dimiliki pasar. Misalkan sebut saja beberapa brand travel menggarap segmen middle class, muncul Baraya Travel yang menurut saya menyasar segmen low class (saya masih ingat di awal kemunculannya travel ini menawarkan harga yang paling murah), dan Citytrans yang memang dari awal fokus menggarap segmen middle up dengan mempertahankan ekslusifitasnya. Kalo boleh saya berandai-andai mengenai Cipaganti yang awalnya menggarap segmen middle, lalu meluncurkan Star Shuttle untuk segmen low, dan Transline untuk segmen premium (middle up), apa yang melandasi? Menurut saya jawabannya ada tiga, tentunya didasarkan pada statement saya sebelumnya mengenai kecermatan dalam melihat potensi pasar :

ü  Pertama karena kompetitor belum memaksimalkan sepenuhnya segmen tersebut (low atau middle up).
ü  Kedua karena konsumen pada segmen tersebut (low atau middle up) belum digarap sepenuhnya oleh kompetitor.
ü  Ketiga karena masih sedikitnya kompetitor yang bermain di segemen ini (low atau middle up).

2.       Maximalkan = Revenue
Selain dari kecermatan potensi pasar tentunya ada alasan kuat lainnya yang melandasi sebuah perusahaan mengembangkan produk untuk segmen berbeda, apakah itu? jawabannya tentunya adalah income revenue. Dengan strategi ini sebuah perusahaan tentunya bisa membangun dan menggarap segmen pasar yang berbeda dari sebelumnya, dan tentunya jika berhasil dikembangkan akan menjadi suntikan income revenue tambahan yang lumayan dong bagi perusahaan tersebut. Sebenarnya strategi ini lumrah dilakukan oleh brand-brand besar, bisa jadi karena tidak puas dengan income yang dihasilkan dari satu segmen, karena melihat potensi besar dari segmen lain, atau bahkan sebut saja karena kebutuhan masyarakat segmen middle yang juga ingin merasakan dan membeli produk kita yang memang sejak awal diperuntukan untuk segmen high. Bagaimana caranya? salah satunya dengan mengembangkan produk yang memang dikhususkan segemen tertentu dengan bendera brand baru.

3.       Waspada Kanibalisme
Apakah dibalik keuntungan menggarap segmen berbeda terdapat efek negatif bagi brand atau perusahaan kita? ada tentunya, karena setiap upaya atau strategi yang kita lakukan pada dasarnya seperti dua sisi mata uang ada positif point dan negatif pointnya, lalu apakah yang harus diwaspadai? adalah efek “kanibalisme”. Wuih ngeri banget yah istilahnya, he4 namun intinya adalah ketika kita mengembangkan sebuah produk (barang atau jasa) serupa sebut saja untuk segmen low class sebelumnya kita sudah mengembangkannya untuk segmen middle class. Bagaimana? bisa jadi akan ada kecenderungan low class beralih kepada middle class ataupun sebaliknya. Lho kok bisa? kan segmen yang digarap benar-benar berbeda, begitupun produk dan jasa yang kita hasilkan berbeda karena sudah disesuaikan dengan masing-masing segmen. Oke memang benar segmen yang digarap berbeda begitu juga produk yang dihasilkan, namun yang namanya konsumen terlebih saat ini kan pinter, sekecil apapun perbedaan sudah pastinya akan dijadikan pertimbangan terlebih jika core bisnis (produk atau jasanya) persis sama, dengan demikian hal ini bisa memunculkan kecenderungan kanibalisme. Jadi Waspadalah, Waspadalah. (dira.illanoor – 2013)

Postingan Populer