Turn Over The Social - Community Into Offline?
sumber gambar : google
Kalo ngomongin social media saat
ini nampaknya nggak pernah ada abisnya yah, mulai dari bahas boomingnya social media
yang saat ini tidak hanya dijadikan sebagai media untuk jejaring pertemanan
saja namun juga kini dijadikan media branding sampai media membangun social
community oleh beberapa brand. Nah kalo ngomongin social media sebagai media
dalam membangun social community (komunitas
based social media), pernahkah terbesit dalam pikiran kita kira-kira sampai
kapan akan bertahan sebuah social community yang dibangun sedemikian rupa oleh
sebuah brand? dan sejauh mana efektifitas dari terbangunnya sebuah social
community untuk sebuah brand?
Nah
balik ngomongin efektifitas saya kira social community yang dibangun oleh
sebuah brand memiliki beberapa nilai minus di balik banyaknya nilai plus yang
diperoleh oleh brand tersebut, point paling mendasar dari minusnya social
community adalah sejauh ini interaksi yang dilakukan lebih online oriented
dibandingkan offline oriented, Dimana kelebihan dari offline oriented adalah sebuah
brand bisa mengenal lebih dekat personality dari masing-masing individu, bisa
memberikan emotional experience secara langsung, dan bisa menerima feedback
secara langsung, sehingga enggagement yang ingin dibangun akan lebih maksimal.
Saat
ini mungkin banyak brand yang memfokuskan diri dalam develop social community
saja terlebih dengan boomingnya social media saat ini, namun berapa lama era
social media (facebook & twitter) ini akan bertahan? no one know is the
answer. Nah namun jika kita berkaca kepada jejaring pertemanan Friendster yang
sempat terlupakan karena teralihkan oleh Facebook & Twitter, saya kira
sebuah brand yang sudah membangun social community selama ini harus berpikir bagaimana
memaksimalkan community yang selama ini sudah dibangun dan bagaimana langkah
antisipasi jika hal yang saya tanyakan sebelumnya terjadi dan social community
yang sudah dibangun susah payah selama ini “rontok” dalam sesaat.
1.
Identify
Langkah
preventif pertama yang mungkin bisa dilakukan adalah database dari social
community itu sendiri, database dalam hal ini adalah informasi mengenai siapa
komunitas kitas secara per individunya. Intinya adalah dibalik keterbatasan
kita dalam mengetahui siapa-siapa individu yang terlibat dalam sebuah social
community, kita membuat sebuah pemetaan mengenai siapa individu yang terlibat
dalam social community yang kita bangun (example
pengelompokan based on gender, geografis, hobies, tingkat keaktifan di social
community, hingga tentu saja database yang sifatnya no telepon, email, dan
alamat rumah). Akan muncul sebuah pertanyaan besar, untuk apa kita
mengidentifikasi dan memetakan social community kita? tujuannya adalah tentu
saja sebagai sistem database kita untuk antisipasi dari berakhirnya sebuah tred
social media dimana kita masih bisa menghubungi mereka, atau kita bisa
mengelompokan individu-individu tersebut berdasarkan ketertarikan yang sama,
bahkan kita pantau individu-individu yang dinilai sangat aktif sehingga mereka layak
mendapatkan perhatian ekstra dibandingkan member lainnya yang cenderung pasif
atau baru muncul pada momen-momen tertentu. Mengenai bagaimana kita mendapatkan
database mereka? ada beberapa cara yang bisa dilakukan selain kita memantau
aktifitas di social community milik kita, diantaranya melalui program riset
atau program-program yang secara tidak langsung mengarahkan member untuk
memberikan database mereka.
2.
Offline
Activation
Langkah kedua
yang bisa dilakukan adalah setelah identfy adalah melakukan aktifasi yang
sifatnya offline, karena selain membangun enggagement secara online penting
bagi sebuah brand dalam membangun enggagement secara offline. Kalo biasanya
kita lebih fokus dalam create content program-program yang lebih online
oriented untuk social community based kita, kini saatnya kita juga memikirkan
aspek offlinennya. Sebuah brand yang sudah membangun social community based
melalui social media harus menyelenggarakan sebuah aktifasi offline bagi social
community yang sudah dibangunnya tersebut, misalkan melalui program brand
activation gathering atau sebuah program khusus yang dicreate dimana komunitas
yang tergabung secara online ini bisa dipertemukan secara offline dengan brand
kita. Nah keuntungannya bagi brand tersebut adalah mereka bisa membangun
enggagement secara langsung dengan komunitas mereka dimana mereka bisa
dilibatkan secara langsung menjadi bagian dari kemajuan brand kita, dalam hal
ini kegiatan atau interaksi yang bisa dilakukan dengan community based bisa
dikembangkan lebih besar diluar kapabilitas yang ditawarkan oleh online media.
3.
Build
The Community Offline
Selain
menyelenggarakan sebuah aktifasi enggagement secara offline, hal selanjutnya
yang bisa kita lakukan sebagai program jangka panjang adalah mengkonversi
komunitas online tersebut kedalam versi offline. Biasanya beberapa brand tidak
hanya menyelenggarakan sebuah aktifasi saja namun juga membangun komunitas
tersebut dalam secara offline (real world).
Point yang paling penting dari proses membangun community ini kedalam bentuk
offline adalah kita harus mempersiapkan serangkaian aktiftas yang dimana
diekseskusi secara berkala untuk maintance member dari komunitas kita sebagai
bagian dari costumer relationship management dengan mereka.
Oke terlepas dari
mana yang lebih penting untuk diprioritaskan oleh sebuah brand, apakah social
community atau offline community semua saya kira kembali kepada landasan dari
brand tersebut dalam mendevelop sebuah community, salah satunya jika boleh saya
singgung kembali Peter Says Denim yang berhasil “mengawinkan” konsep social
community dengan offline community hingga kini merknya bisa dikenal hingga
skala internasional. (dira illanoor - 2012)
Komentar
Posting Komentar